IMG_5632

Refleksi : “Menjadi Pemimpin yang Reflektif dan Solider”

Pada 24 Mei 2025 lalu, ditengah kesibukan dan berbagai aktivitas kampus, KMK Pedro Arrupe melakukan kegiatan di Rumah Retret Civita, Tangerang. Kegiatan tersebut ialah rapat kerja atau yang biasa disebut dengan Raker. Kegiatan ini bertujuan untuk merencanakan program kerja tahunan yang sistematis dan terukur serta membangun karakter dan spiritualitas kaum muda. Dengan melibatkan semua divisi dalam memberikan suatu aspirasi. Hal ini juga menjadi momen berharga yang mempertemukan para pemimpin muda dalam satu ruang refleksi, pembelajaran, dan perencanaan.

Spiritualitas Pedro Arrupe

Acara dimulai dari pagi hari dengan keberangkatan bersama, momen sederhana namun mengandung makna yaitu bergerak bersama yang merupakan simbol komitmen kolektif. Acara diawali oleh Romo Kristiono Puspo SJ dengan materi mengenal Pedro Arrupe dan spiritualitasnya. Pedro Arrupe adalah sosok yang penuh semangat dan optimis karena bekal cinta Tuhan. Pedro Arrupe seorang Jesuit yang dijuluki sebagai Ignatius kedua karena menyebarkan injil untuk menegakkan keadilan. Tahun 1941 Pedro Arrupe dikirim ke Jepang atas kemauan sebagai misionaris yang membantu karya Jesuit dan mengobati para korban akibat bom Hiroshima. Pada 18 Agustus 1998 Pedro Arrupe menetapkan Indonesia sebagai provinsi mandiri. Semangat man for other muncul pertama-tama karena pengalaman dicintai oleh Tuhan melalui orang-orang yang peduli dan cinta terhadap kita dan segala perbuatan Tuhan melalui ciptaan, maka sebuah pujian mengatakan rahmat Tuhan cukup bagiku. Ada kontekstualisasi dari semangat man for other, jika saat itu konteks Pedro Arrupe melayani yang terluka maka saat ini perencanaan program kerja KMK harus melihat kenyataan dan kebutuhan dalam lingkup pelayanan, artinya kontekstual adalah program kerja sungguh menjadi jawaban dari keadaan.  Man for Other akan terus menjadi kata-kata jika tidak direalisasikan, penting untuk menindaklanjuti dengan aktifitas atau aksi konkret sebagai seseorang yang berbela rasa dengan dan untuk sesama. Tiga poin yaitu pengalaman dicintai, kontekstual dan aktivitas. Harapannya kaum muda terlebih bagi KMK Pedro Arrupe memiliki kepedulian untuk membuat rencana dan terobosan baru serta menjadi garam dan ragi untuk sesama melalui pelayanan.

Dipanggil untuk bertumbuh, diutus untuk berdampak

            Dalam materi selanjutnya, kami diajak untuk menyelami diri menjadi leader melalui organisasi bersama Bapak Eustachius Dwi Septiawan, beliau adalah alumni Politeknik Industri ATMI. Organisasi diandaikan seperti laboratorium kepribadian yang melatih kita untuk disiplin dan berkomitmen dalam menjalankan program. Selain itu para pengurus diasah tentang problem solving menggunakan empati saat menyelesaikan masalah, serta refleksi dalam mengambil keputusan. Pemimpin tidak hanya mampu memimpin namun juga mampu mendengarkan. Fokus kepada diri sendiri untuk menjadi leader dengan lead by example. Kemudian dilanjutkan dengan pemahaman SWOT dimana kita diajak untuk mengenal kekuatan dan kelemahan dari dalam KMK Pedro Arrupe, serta melihat peluang dan ancaman yang dapat muncul. Setelah itu bersama Bapak Iko kita melakukan diskusi mengenai SMART GOALS untuk membantu KMK Pedro Arrupe agar dapat menetapkan tujuan yang jelas, terukur, dan realistis sehingga program yang dirancang lebih mudah dicapai dan dievaluasi.

Focus Group Discussion

            Setelah kami diajarkan mengenai SMART GOALS kami berdinamika bersama masing-masing divisi untuk membuat perencanaan mengenai program kerja yang akan dilakukan selama periode kepengurusan. Kami menggunakan waktu yang diberikan untuk menyusun dan merencanakan program kerja dengan terperinci. Setelah berdinamika bersama tiap divisi, kami melanjutkan acara dengan misa bersama. Kemudian sampai pada puncak acara yaitu Makrab “Arrupe Night”, yang dibuka dengan penampilan yel-yel dari masing-masing divisi. Kemudian kami saling berbagi kisah, canda dan tawa, serta harapan. Keintiman yang terbangun malam itu bukan sekadar hiburan, tetapi sebuah titik balik relasi antar anggota kmk yang tentu saja bisa saling mengenal lebih mendalam antar satu sama lain.

Menyatukan Tubuh, Jiwa, dan Arah Pelayanan

Di hari kedua ini kami mulai dengan olahraga pagi. Kegiatan ini bukan hanya untuk kebugaran fisik, tetapi menjadi simbol kesadaran bahwa tubuh juga bagian dari pelayanan. Setelah itu, FGD kembali digelar untuk menyempurnakan hasil diskusi hari sebelumnya.

Puncaknya adalah sesi Pleno yang bukan sekadar formalitas menjelaskan program kerja tetapi juga mengajak teman-teman lain untuk memahami bahwa setiap divisi memiliki program yang membutuhkan kolaborasi atau keterlibatan setiap orang dalam proses pelaksanaannya, sesi ini merupakan bentuk penyelarasan, pengambilan keputusan serta pengesahan hasil diskusi dari sesi FGD. Ketika rapat pleno teman-teman juga aktif dalam memberikan kritik serta bertanya mengenai program kerja yang dipaparkan. Kegiatan ini memberikan pengalaman bagi kami untuk melatih mental ketika berbicara didepan banyak orang, melatih diri kami untuk mengutarakan gagasan, bekerjasama dengan teman satu divisi kemudian mengambil keputusan. Tentu saja melalui Pleno ini kita tidak diberikan batasan untuk memberikan aspirasi atau saran yang dapat mengembangkan sebuah ide yang lebih baik untuk kedepannya.

Setelah semua divisi sudah menyampaikan setiap program yang dimiliki. Acara pun ditutup dengan kata-kata penutup dari Bapak Eustachius Dwi Septiawan dan  Bapak Iko yang sudah bersedia mengajar dan menemani kami selama kegiatan berlangsung dari awal sampai akhir kegiatan.

Refleksi yang Mengubah Cara Pandang

Raker ini bukan hanya tentang menyusun jadwal kegiatan KMK, tetapi tentang menjadi pribadi yang utuh: berpikir strategis, bertumbuh secara spiritual, dan membangun solidaritas yang nyata. Para peserta belajar bahwa pelayanan bukan beban, melainkan panggilan yang menumbuhkan, menyembuhkan, dan menghidupkan. Dalam dunia yang semakin individualistik, raker seperti ini menjadi pengingat bahwa kekuatan komunitas dan semangat bersama adalah aset terbesar. Kita semua diajak untuk tidak hanya menjadi perencana program, tetapi juga menjadi pribadi yang mencintai sesama dan berani hadir bagi orang lain. KMK Pedro Arrupe mengajarkan bahwa pemimpin sejati bukan hanya yang bisa memimpin rapat, tetapi mereka yang mampu hadir dengan hati yang reflektif, pikiran yang strategis, dan semangat yang melayani.

Jika kita belum pernah mengikuti raker seperti ini, mungkin ini saatnya bertanya: kapan terakhir kali kita melayani dengan sepenuh hati?

 

Dibuat Oleh:

Reinardus Dolu Waleng / TMI tingkat 1

Mario Imanuel / TMI tingkat 1

Aurelia Tiatma / MANIS tingkat 1

Dionisius Christian / TRM tingkat 2

IMG_5100

Refleksi oleh : Andrian Antonio “Berbagi Pengalaman Dicintai”

Sabtu, 24 Mei 2025 seharusnya menjadi hari pertama saya melaksanakan ujian praktik, namun di saat yang sama juga menjadi kegiatan rapat kerja saya di rumah retret ‘Civita’. Tentu saja saya memilih kegiatan akademik saya saat itu, setidaknya sebelum instruktur mengumumkan bahwa jadwal ujian diundur menjadi 26 Mei 2025. Saya merenung dan bertanya dalam hati “Apa yang ingin Kau tunjukan Tuhan? saya bukan mahasiswa pintar, butuh waktu bagi saya untuk menyiapkan ujian, namun kenapa? barangkali Tuhan ingin menunjukan pada saya, bahwa di dunia ini ada yang lebih penting daripada sekedar angka pada selembar kertas?”. Kurang lebih dialog seperti itu yang muncul di kepala saya, kemudian saya menjalani aktifitas saya seperti biasa, sambil terus bertanya dan mengikuti tanda yang ditinggalkan Tuhan di sepanjang jalan.

“Pedro Arrupe, disebut juga Ignasius ke-2, Man for Others adalah kalimat yang diucapkan oleh Beliau”

Pagi itu saya ingat, Romo Kris dengan semangatnya memaparkan materi sebagai pembukaan hari pertama kami di Civita, saya sendiri baru tau bahwa Pedro Arrupe ternyata adalah seorang manusia, selama ini saya kira Pedro Arrupe itu seperti bahasa latin yang memiliki makna tertentu, selama ini ternyata saya salah.

“Teman-teman KMK harus menjadi Man for Others, teman-teman punya tugas menjadi garam”

“Pedro Arrupe hidup pada masa perang dunia II dan dalam misi misionarisnya di Jepang juga pernah memiliki pengalaman pahit, saat bom yang dijatuhkan oleh Amerika di kota Hiroshima ternyata jatuh di dekat kawasan Jesuit, saat itu be man for others menjadi semakin konkrit”.

Romo Kris meneruskan pemaparan materinya, dan saya pun terus mendengarkan karena ceritanya yang menurut saya menarik.

Pada akhir sesi Romo memberikan kesempatan untuk bertanya, dan saat itu saya pun bertanya tentang bagaimana si Pedro Arrupe ini bisa konsisten dalam melaksanakan tugas pelayanannya? Bagaimana dia bisa terus memilih untuk peduli pada sesamanya, di saat dia sendiri memiliki persoalan dengan dirinya sendiri? Semua orang di dunia ini pasti punya masalah kan? Tapi kenapa dan kenapa ada orang yang dengan tulus dan rendah hati mau peduli dengan masalah orang lain dan mengabaikan masalahnya sendiri? Dan jawaban yang saya temukan pada sesi itu adalah “Pengalaman Dicintai”.

Kita peduli karena sebelumnya kita pernah merasakan bagaimana rasanya dicintai oleh Allah, lewat orang-orang disekitar kita, lewat banyaknya jatuh bangun pengalaman hidup kita, dan lewat banyak hal-hal yang kita tidak pernah mengerti dan sadari. Sekarang menjadi tugas kita untuk meneruskan pengalaman dicintai itu kepada orang-orang di sekitar kita, namun dalam proses mencintai itu ada juga hal yang perlu kita ketahui, bahwa kita harus siap untuk dijatuhi sesuatu yang kita cintai itu, dan barangkali di titik itulah Pedro Arrupe tidak menyerah dan terus mencintai. Mungkin hal ini yang ingin Tuhan sampaikan ke saya sebelum melaksankan ujian praktik. Terima kasih Tuhan. Ami.

(Andrian Antonio)

IMG_5679

Refleksi “Antara Ketakutan dan Keberanian: Pergulatan Membaca Gerak Roh” Oleh: Renata Veronika

Dalam perjalanan hidup, memilih adalah bagian tak terpisahkan dari keseharian. Sejak kecil, kita sudah diajarkan memilih, sekadar memilih satu chiki saat uang jajan terbatas. Tapi kini, di usia dewasa, aku merasakan bahwa pilihan-pilihan itu jauh lebih berat, dan konsekuensinya jauh lebih dalam. Ada tanggung jawab, ada dampak nyata yang kadang membentuk masa depan.

Pertemuan kali ini tentang discernment membuatku tersadar: di balik setiap pilihan, ada dinamika batin yang tidak selalu kusadari. Ada bisikan yang mendorongku mendekat pada Allah, dan ada pula bisikan yang menarikku menjauh dari-Nya.

Sejujurnya, aku malas sekali mengikuti pertemuan ini. Hari Sabtu — waktu istirahatku yang berharga — harus kuisi dengan duduk dari pagi sampai siang, mendengarkan materi, mengerjakan refleksi, dan berbagi dalam sharing kelompok. Aku ingin sekali tetap bergelung di kasur, menikmati kemalasan yang sederhana. Bahkan rasanya capek hanya membayangkannya.

Namun, karena terus-menerus diingatkan — melalui tag di grup, hingga panggilan telepon pagi-pagi — akhirnya aku ikut juga. Di sini aku mulai melihat: ada pertarungan kecil dalam batinku. Di satu sisi, godaan kenyamanan memanggilku, di sisi lain, ada ajakan untuk memberi diriku, untuk bertumbuh. Aku hampir saja dikalahkan oleh bisikan kenyamanan, tapi akhirnya aku memilih untuk hadir. Kini, aku melihat bahwa pengalaman kecil ini sudah mengajarkanku banyak hal tentang dinamika Roh Baik dan Roh Jahat.

Materi yang kami terima dari kakak-kakak Magis Jakarta membuka mataku lebih lebar. Kami belajar tentang pembedaan roh, tentang modus operandi batinku: bagaimana roh baik dan roh jahat bekerja dalam setiap keputusan-keputusanku. Ada cara-cara praktis yang diajarkan, seperti membuat tabel pro dan kontra dari setiap pilihan, memperhitungkan kemungkinan, dan tetap membawa semua itu dalam refleksi mendalam, bukan hanya hitung-hitungan pro-kontra.

Aku sangat tersentuh saat menyadari betapa canggihnya cara Roh Jahat bekerja — seringkali membungkus godaan dalam keinginan untuk “nyaman” dan “santai”. Dan betapa Roh Baik seringkali mengajak, bahkan dengan lemah lembut, untuk keluar dari zona nyaman, meski rasanya berat di awal.

Dalam sharing kelompok, banyak teman mengungkapkan betapa sulitnya mengingat pengalaman di mana Roh Baik menang. Aku pun merasakan hal yang sama. Ternyata, kepekaan membaca gerak roh dalam hidup bukanlah hal instan. Ini adalah latihan panjang, penuh kejujuran dan kesabaran.

Kemudian, aku teringat pengalaman yang jauh lebih berat, yang membuatku bergumul lebih dalam. Beberapa waktu lalu, aku mendapat tawaran sebuah tanggung jawab besar. Awalnya aku mengira hanya akan membahas tugas-tugasku yang biasa, namun ternyata, aku dipanggil untuk sesuatu yang jauh lebih besar. Saat tawaran itu datang, hatiku langsung bergolak: “Kenapa aku?” Aku merasa tidak layak, tidak mampu.

Aku berusaha menolak, tapi tawaran itu tetap datang, dengan harapan besar yang disematkan padaku. Aku tetap menolak, karena aku sungguh merasa tidak siap. Di balik penolakanku, ada rasa bersalah yang mendalam — rasa mengecewakan orang yang telah mempercayaiku. Aku tidak bisa berbohong kepada diriku sendiri: aku tidak yakin bisa mengemban tanggung jawab itu dengan baik.

Berhari-hari aku bergumul. Kepalaku terasa penuh. Aku pusing, sulit fokus, bahkan orang lain bisa melihat kecemasan itu di wajahku. Aku mendengar begitu banyak suara di sekelilingku:

“Ambil saja, kesempatan tidak datang dua kali,”

“Coba saja dulu, gagal pun tidak apa-apa,”

“Setidaknya, kau tidak akan menyesal karena tidak mencoba.”

Tapi juga ada suara lain:

“Kenali batasanmu,”

“Jangan iya-iya saja kalau memang tidak siap.”

Dalam kebingunganku, aku sadar aku tidak tahu dari mana semua suara itu datang. Aku belum bisa membedakan sepenuhnya: mana bisikan Roh Baik yang mendorongku bertumbuh dengan penuh kasih, mana bisikan Roh Jahat yang mungkin memaksaku melangkah dalam ketakutan.

Aku sempat bertanya-tanya: apakah aku menolak karena takut — sebuah jebakan Roh Jahat? Ataukah karena aku jujur mengenali keterbatasanku — sebuah gerakan Roh Baik? Aku belum tahu jawabannya. Mungkin aku menulis refleksi ini juga dalam usaha memahami diriku sendiri, dalam usaha perlahan-lahan membedakan gerak batin itu.

Satu hal yang kutemukan: rasa sesak dan stres yang membebaniku mulai reda ketika aku mulai bercerita — kepada teman, kepada mama. Aku belajar bahwa bercerita bukanlah tanda kelemahan, melainkan jalan untuk membiarkan terang Tuhan masuk ke dalam kerapuhan hatiku.

Hari ini aku belajar bahwa discernment bukan tentang mendapatkan jawaban cepat atau solusi yang nyaman. Ini adalah perjalanan panjang untuk mengenali, menyaring, dan menanggapi suara-suara batin dengan kejujuran dan kerendahan hati.

Aku belum tahu apakah pilihanku waktu itu benar atau salah. Tapi aku tahu, Tuhan tetap menyertaiku — di dalam ketakutan, di dalam pilihan yang kuambil, di dalam setiap langkah pencarian ini.

Tuhan, ajarilah aku untuk mendengarkan suara-Mu dalam segala kegaduhan batinku. Ajarilah aku untuk setia mencari-Mu, bahkan ketika aku belum menemukan jawabannya.

WhatsApp Image 2025-03-10 at 15.10.34 (1)

Refleksi Proaktif dan Merujuk pada Tujuan Akhir – Mario Imanuel Purwo Adi Pakerti

Proaktif

Ketika mendengar istilah proaktif, yang terlintas di benak saya adalah keaktifan dalam segala hal apa pun itu misalnya di dalam kelas aktif bertanya atau ketika dihadapkan dengan situasi yang menuntut bantuan maka seseorang akan langsung aktif membantu atau bergerak. Lebih daripada itu proaktif adalah cara membawa diri dalam segala situasi dan kondisi. Rekoleksi habit 1 tentang proaktif jelas membantu dalam memahami, mendalami dan mengaplikasikan proaktif. Rangkaian rekoleksi terdiri dari berbagai kegiatan mulai dari penjelasan materi, literasi buku “Seven Habits Of Highly Effective People”, games, examen dan refleksi. Mengesan bagi saya ketika bermain game bernama kartu reaksi dan situasi. Permainan ini kami lakukan secara berkelompok dimana promotor sebagai host of the game mengeluarkan 1 kartu  situasi yang berisi sebuah kondisi atau peristiwa kontekstual. Masing-masing dari para peserta  akan mendapat 1 kartu reaksi secara acak yang terdiri dari tiga pilihan yaitu reaktif, proaktif dan go with the flow, dari situlah para peserta memberikan cara respon seperti apa tergantung pada kartu reaksi yang didapat atas situasi tertentu dari kartu situasi. Permainan ini cukup seru dan membawa keriuhan yang menggembirakan lebih daripada itu permainan ini membawa pada pemahaman yang lebih dalam tentang proaktif.

Proaktif dilandasi dengan kesadaran diri, imajinasi, suara hati dan kehendak bebas. Seluruh faktor proaktif ada di dalam diri masing-masing individu. Permainan kartu tadi cukup menggambarkan cara menanggapi situasi dan kondisi dalam hal ini reaktif dan proaktif. Segala situasi atau lingkungan hidup di sekitar terkadang memengaruhi cara bertindak dan berperilaku.Saya menyadari ada saat di mana diri sendiri tidak bisa atau tidak memiliki cukup kekuatan untuk mengambil keputusan atau memilih dengan baik, ada momen di mana pilihan dan tindakan   dipengaruhi lingkungan sekitar inilah yang disebut sebagai lingkaran kepedulian. Saya akui bahwa ada hal-hal yang memang diluar kendali saya dan terkadang saya terbawa ke dalamnya. Saya juga merasa bahwa masing-masing dari kita punya pengalaman serupa, pengalaman ini biasa disebut paradigma sosial dimana ada kecenderungan manusia diatur oleh pengkondisian /kondisi. Penting untuk meningkatkan kemampuan membawa diri dengan penuh pendirian dan kesadaran. Menjadi proaktif adalah  pendekatan dari dalam diri menuju ke luar ini yang menuntut saya untuk mampu memiliki cara menanggapi atau respon yang tepat terhadap sesuatu. Seperti halnya dalam permainan kartu tadi di mana perilaku seseorang terlihat dari cara bagaimana ia menanggapi atau merespon. Respon seorang yang proaktif  ada pada hasrat untuk bertindak bukan menjadi sasaran tindakan artinya diri kita masing-masing menjadi subjek  bukan objek. Sikap proaktif lebih ditunjukkan dengan tanggapan yang solutif, fokus pada peluang dan apa yang bisa diperbuat  dibanding dengan reaktif yang berdasar pada emosional.Sebuah pengalaman mengesan mendalami dan memaknai diri saya sendiri dengan melihat selama ini apakah sudah memiliki cara menanggapi/ respon yang tepat, maka saya diajak untuk menumbuh-kembangkan diri dimulai dari kesadaran,imajinasi serta kehendak bebas agar matang dalam menanggapi.

Tujuan akhir

Semakin dewasa kita dihadapkan dengan tujuan hidup, jika ketika kecil tujuan berbentuk cita-cita ingin menjadi seorang dokter atau polisi maka dewasa ini tujuan hidup lebih daripada cita-cita atau profesi. Rekoleksi bulan Januari juga berbicara tentang tujuan spesifiknya merujuk pada tujuan akhir sebagai habit kedua. Sulit dan butuh pengolahan lebih lanjut untuk menentukan tujuan hidup namun setidaknya habit kedua ini melalui rekoleksi memberikan kesadaran lebih bahwa masing-masing diciptakan dan ada untuk tujuan yang besar. Habit kedua lebih menjelaskan bagaimana pola hidup merujuk pada tujuan akhir. Dalam materi dijelaskan tentang sarana dan tujuan. Sarana adalah media atau cara-cara seperti apa yang semakin membawa lebih dekat kepada tujuan, sedangkan tujuan  adalah  makna terdalam sebagai seorang manusia lebih kepada keutamaan atau value.

Rekoleksi sesi habit kedua menjelaskan langkah-langkah atau metode merealisasikan tujuan dengan SMART akronim dari Specific, Measurable, Achievable, Relevant dan Time bound.

  • Specific adalah menentukan tujuan utama,mendeskripsikannya yang nantinya ini akan menjadi arah.
  • Measurable adalah keterukuran sehingga segala usaha bisa terpantau.
  • Achievable mengartikan bahwa sebuah tujuan memiliki kemungkinan besar untuk dicapai atau realistis,ini juga membantu untuk menyadari sumber daya dan kondisi masing-masing.
  • Relevanberarti tujuan sesuai dengan apa yang kita butuhkan dan menjadi dasar keterkaitan dengan tujuan.
  • Time boundatau waktu tenggat adalah yang membantu seseorang dalam mencapai tujuan dengan pembagian waktu yang tepat.

Belajar dari sini bahwa setiap tujuan punya cara dan metode untuk menggapainya disitulah letak penting sarana dengan membedakan cara apa yang membantu dan tidak membantu dalam merealisasikan tujuan. Disini saya diajak untuk melihat kembali apakah usaha, cara atau media yang saya miliki  benar-benar membantu diri saya atau hanya sebagai pengejaran validasi saja.

Pada akhirnya proaktif dan tujuan akhir berada dalam kemenangan pribadi, kedua hal yang saling mendukung satu sama lain. Ketika ingin mengusahakan yang terbaik untuk tujuan akhir maka diperlukan kemampuan untuk mengendalikan diri. Memiliki cara respon dan menanggapi dengan tepat tanpa pengaruh orang lain. Proaktif adalah sarana baik untuk tujuan akhir sebab seseorang akan menyadari dimana dan keadaan dirinya. Badai di laut tidak seberapa besar tergantung bagaimana nahkoda membawa kapalnya, seberapa besar permasalahan ditentukan dengan bagaimana kita menanggapinya.

.

IMG_3936

Refleksi Asas dan Dasar – Fidelis Hevedeo

Perjalanan Menuju Tujuan Hidup

Hidup adalah perjalanan panjang yang dipenuhi oleh tujuan dan perjuangan. Hingga saat ini, tujuan hidup yang paling aku perjuangkan adalah menyejahterakan keluargaku berbekal kompetensi yang kudapatkan di bangku kuliah, terutama dengan memastikan bahwa adik-adikku mendapatkan pendidikan yang layak. Aku ingin mereka memiliki kesempatan terbaik dalam hidup, tanpa harus terbebani oleh keterbatasan finansial. Ini bukan hanya tentang materi, tetapi tentang memberikan mereka jalan menuju masa depan yang lebih baik, di mana mereka bisa berdiri di atas kaki mereka sendiri dengan ilmu dan keterampilan yang mumpuni.

Dalam perjuanganku, aku berusaha bersikap tekun, disiplin, dan bertanggung jawab. Aku bekerja keras, belajar dengan giat, serta terus mencari cara untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan, agar bisa memberikan yang terbaik bagi mereka yang kusayangi. Sebagai mahasiswa di ATMI, aku belajar banyak tentang kedisiplinan, kerja keras, dan profesionalisme. Kampus ini membentukku menjadi pribadi yang lebih tangguh, dengan pola pikir yang sistematis dan terstruktur dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.

Namun, dalam perjalanan ini, aku sering bertanya dalam hati: Apakah ini hanya sekadar kepuasan duniawi, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam?

Sejauh ini, aku merasa bahwa perjuangan ini memberi kepuasan batin yang mendalam. Melihat adik-adikku tumbuh dan berkembang, melihat senyum orang tua yang tidak lagi mengkhawatirkan biaya pendidikan, semua itu memberikan ketenangan yang tidak bisa diukur dengan materi. Namun, aku juga menyadari bahwa terkadang, ada godaan untuk mengukur keberhasilan hanya dari hasil yang tampak, bukan dari kebermaknaan usaha itu sendiri. Aku tidak ingin terjebak dalam kepuasan superfisial yang hanya bersandar pada angka dan pencapaian duniawi semata.

Kelekatan dan Perjuangan Melepaskannya

Dalam perjalananku, aku juga menyadari adanya kelekatan tak-teratur yang kadang menghambat kebebasanku. Mungkin itu kelekatan pada kesuksesan duniawi, pada rasa takut gagal, atau pada keinginan untuk selalu diakui. Aku sadar bahwa semua itu bisa menjadi beban jika tidak aku tempatkan dalam perspektif yang benar. Aku berusaha untuk melepaskan diri dari kelekatan ini dengan lebih menyerahkan diri kepada Tuhan, dengan menyadari bahwa segala sesuatu yang aku lakukan hanyalah bagian dari kehendak-Nya, dan hasil akhirnya adalah hak prerogatif-Nya.

Setiap hari, aku berusaha untuk lebih ikhlas, lebih tenang, dan lebih percaya bahwa segala hal yang terjadi adalah bagian dari skenario terbaik yang telah Tuhan rancang. Aku belajar untuk tidak memaksakan kehendak dan lebih banyak berserah diri, sembari tetap berusaha sebaik mungkin dalam setiap tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan kepadaku.

Memandang Tuhan dalam Hidupku

Sosok Tuhan yang aku imani hingga saat ini adalah Tuhan yang penuh kasih, yang selalu membimbing dan tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Dalam setiap perjuangan, aku merasakan kehadiran-Nya melalui ketenangan hati, melalui jalan keluar yang tak terduga, dan melalui kekuatan yang muncul ketika aku merasa lelah. Cinta Tuhan begitu nyata dalam hidupku, dalam setiap rezeki yang datang, dalam kesempatan yang diberikan, dan dalam orang-orang yang selalu mendukungku.

Setiap detik dalam hidupku adalah kesempatan untuk merasakan cinta Tuhan. Aku melihat-Nya dalam udara yang kuhirup, dalam kesehatan yang masih diberikan, dalam orang-orang baik yang terus mengiringi langkahku. Keajaiban-keajaiban kecil yang seringkali tak kusadari, semakin menguatkan keyakinanku bahwa Tuhan selalu ada, selalu hadir, dan tak pernah meninggalkan hamba-Nya yang berusaha.

Membalas Cinta Tuhan dengan Tindakan Nyata

Sebagai balasan atas cinta-Nya, aku ingin menjalani hidup ini dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan. Aku ingin bekerja bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk memberikan manfaat bagi sesama. Aku ingin menjadikan pekerjaanku sebagai ladang ibadah, di mana setiap usaha yang aku lakukan tidak hanya bernilai duniawi, tetapi juga menjadi bekal menuju kehidupan yang lebih kekal.

Aku ingin lebih banyak berbagi, lebih banyak membantu, lebih banyak peduli kepada orang-orang di sekitarku. Hidup bukan hanya tentang mengejar kebahagiaan pribadi, tetapi juga tentang bagaimana aku bisa membawa kebaikan kepada sebanyak mungkin orang. Aku ingin hidupku bermakna, bukan hanya dalam hitungan materi, tetapi dalam cahaya keberkahan yang dirasakan oleh orang-orang di sekitarku.

Tujuan Hidup yang Lebih Besar

Sebagai manusia yang dilahirkan untuk hal-hal besar, aku ingin menjadikan hidup ini lebih dari sekadar mengejar materi. Aku ingin menjadikannya perjalanan menuju kebaikan, baik untuk keluarga, untuk lingkungan, maupun untuk dunia yang lebih luas. Sarana yang aku gunakan adalah ilmu, kerja keras, dan doa yang tulus. Aku percaya bahwa selama aku berjalan di jalan yang benar, Tuhan akan selalu menunjukkan cahaya-Nya, membimbing langkahku, dan menjadikanku bagian dari rencana besar-Nya yang penuh dengan rahmat dan keberkahan.

Aku ingin hidupku menjadi inspirasi, menjadi teladan bagi adik-adikku dan orang-orang yang mengenalku. Aku ingin menunjukkan bahwa kerja keras, kejujuran, dan kesabaran akan selalu membuahkan hasil, meskipun terkadang perjalanan terasa sulit. Aku ingin tetap teguh dalam iman, tetap berpegang pada nilai-nilai kebaikan, dan terus melangkah dengan keyakinan bahwa Tuhan selalu menyertai.

Semoga setiap langkah yang aku tempuh selalu dalam lindungan-Nya, dan semoga setiap usaha yang aku lakukan membawa kebaikan yang lebih luas. Hidup ini singkat, dan aku ingin menjalaninya dengan penuh makna, dengan penuh keberkahan, dan dengan hati yang selalu bersyukur. Amin.

1733563692085 (1)

Refleksi Sejarah Hidup 2 – Benediktus Diego De San Vitores

Sebelum mengikuti rekoleksi ini, perasaan yang mendominasi diriku adalah kebingungan dan keraguan. Aku bertanya-tanya apa tujuan dari proses ini dan apakah semua yang akan dilakukan benar-benar bermakna. Ada juga rasa ketidakpedulian yang membuatku merasa bahwa hal ini mungkin hanya sekadar formalitas belaka. Namun, semua itu mulai berubah ketika aku menjalani rekoleksi, mendalami setiap sesi, dan merenungkan setiap pengalaman yang dibagikan.

Perasaan yang awalnya penuh keraguan perlahan berubah menjadi ketenangan. Proses refleksi yang mendalam dan kesempatan untuk mendengar pengalaman hidup orang lain memberikan dampak yang besar. Ada momen-momen di mana aku merasa tersentuh, seperti ketika aku mendengar kisah seseorang yang begitu jujur dan penuh perjuangan. Hal itu membuatku menyadari bahwa setiap orang memiliki luka, tetapi juga memiliki kekuatan untuk bertahan dan bangkit.

Salah satu momen paling bermakna adalah saat doa bersama dalam keheningan. Dalam momen tersebut, aku merasakan kehadiran Tuhan yang begitu nyata, seolah Dia berbicara langsung ke dalam hatiku. Keheningan itu memberikan ruang bagiku untuk merenung, untuk melihat kembali perjalanan hidupku, dan untuk memahami lebih dalam tentang diriku sendiri. Di sanalah aku merasa terhubung, tidak hanya dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama dan diriku sendiri.

Pengalaman ini mengajarkanku bahwa aku tidak sendirian. Hidup ini penuh dengan perjuangan, tetapi aku menyadari bahwa ada banyak orang yang juga menghadapi tantangan serupa. Di tengah perjuangan itu, kami saling menopang melalui kehadiran, perhatian, dan dukungan. Ini membuatku lebih menghargai pentingnya hubungan dengan orang lain dan bagaimana kita dapat saling memperkuat di tengah kesulitan.

Selain itu, aku juga belajar untuk lebih menghargai momen-momen sederhana dalam hidup. Hal-hal kecil yang mungkin sebelumnya aku anggap sepele ternyata memiliki arti yang begitu besar. Hidup adalah anugerah yang luar biasa, dan pengalaman ini membuatku semakin sadar akan keindahan yang ada di dalamnya.

Setelah melalui proses ini, aku merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang bermakna. Aku ingin lebih peduli terhadap sesama dan lingkungan di sekitarku. Entah dengan membantu mereka yang membutuhkan, menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang aku sayangi, atau lebih berkomitmen dalam iman kepada Tuhan, aku merasa ada tanggung jawab yang lebih besar dalam hidupku.

Rekoleksi ini tidak hanya memberikan kesempatan untuk merenung, tetapi juga menjadi titik balik yang penting dalam hidupku. Aku memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup, baik itu kebahagiaan maupun luka, memiliki makna yang mendalam. Dari semua pengalaman ini, aku belajar untuk lebih bersyukur dan untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Kini, aku melangkah dengan hati yang lebih ringan, penuh syukur, dan dengan tekad untuk menjadikan hidupku lebih bermakna. Rekoleksi ini mengajarkanku bahwa cinta dan dukungan adalah fondasi yang kuat, dan dengan itu, aku siap menghadapi perjalanan hidup selanjutnya.

IMG_2582

Refleksi Hari Orang Tua – Yohanes Miko Gotama

Hai perkenalkan nama saya Yohanes Miko Gotama saya ingin sedikit bercerita tentang rekoleksi Hari orang tua. Saya sendiri memang typical anak yang suka melawan orang tua dan tidak jarang membuat mereka marah, mulai dari saya kecil sampai saya saat ini berusia 18 tahun masih tetap saja kadang membuat mereka kesal. Perasaan dominan yang saya rasakan diawal mengikuti rekoleksi hari orang tua ini adalah jujur saya sangat senang melihat papa dan mama yang datang menghadiri acara rekoleksi ini karena biasanya papa jarang sekali mau hadir ketika ada pertemuan disekolah dengan kehadiran mereka saya merasa didukung sepenuhnya dalam mengolah, belajar dan membangun karakter di ATMI CIKARANG ini.

Pengalaman saya dulu mama dan papa tidak pernah memahami apa yang diinginkan oleh anaknya, mama dan papa hanya bisa menuntut jika saya harus menjadi seperti yang mereka inginkan sedangkan mereka tidak pernah mendukung saya, mereka hanya melihat ketika saya berbuat salah mereka marah dengan saya, rasa kepahitan yang dulu pernah saya rasakan kembali hadir namun yang menjadi “AHA MOMEN” bagi saya adalah ketika sesi pemberian bunga dan surat cinta kepada mama dan papa. Seketika perasaan pahit yang dahulu pernah saya rasakan itu hilang, saya melihat wajah mama dan papa yang tersenyum penuh cinta dan kasih sayang membuat saya menjadi merasa anak yang durhaka kepada mereka karena pernah menyimpan rasa kepahitan tentang mereka.

Pada akhirnya saya belajar tentang bagaimana menjadi pribadi yang bisa menghormati orang tua mereka yang berjuang bagi anaknya untuk bisa sekolah setinggi tingginya. Rekoleksi hari orang tua ini menurut saya memberikan pelajaran tentang perjuangan mama dan papa yang tiada henti memberikan yang terbaik bagi anak anaknya, untuk mendapat menggapai cita cita serta hidup layak dimasa depan dan kita juga diajak untuk menyadari bahwa ketika kita berjuang saat ini, kita tidak sendirian, kita punya orang tua yang hebat dibelakang kita yang selalu memberikan doa serta dukungan bagi anak anaknya.

sekarang saya ingin berjuang memberikan yang terbaik untuk mama dan papa supaya perjuangan mereka dalam memberikan kesempatan bagi saya untuk merasakan kuliah itu tidak sia sia, doa seerta dukungan mereka yang selalu saya rasakan setiap hari, ketika saya ingin menyerah saya ingat akan mereka yang lebih lelah bekerja untuk saya. Saya akan buktikan pada mama dan papa juga kepada semesta ini bahwa saya pasti bisa melewati rintangan yang menghadang untuk mencapai mimpi saya. Saya yakin saya bisa, Terima kasih Tuhan selalu menyertai disetiap langkah hidup saya, sehingga saya mampu bertahan sampai sejauh ini. Saya akan  selalu bersyukur atas semua yang Tuhan izinkan terjadi padak saya, dengan begitu saya juga mampu belajar menghargai hal hal yang lain. Semoga apa yang saat ini aku jalani berjalan sesuai dengan kehendak sang pencipta.

IMG_1758

Refleksi Rekoleksi Sejarah Hidup I – Missella Amelia Silalahi

Hallo semuanya, aku ingin menyampaikan refleksi pada pertemuan Rekoleksi bulan ini , aku ingin berbagi cerita tentang pengalaman yang aku rasakan pada pertemuan sebelum dan sesudah mengikuti Rekoleksi Sejarah Hidup. Pertama-tama untuk perasaan dominan yang aku rasakan yaitu aku merasakan ketenangan dan aku dapat menerima kehadiran diriku sendiri, sebelumnya aku masih ragu akan diriku karena aku belum pernah membuka luka atau pengalaman pahit yang dahulu pernah aku rasakan sedalam ini, awalnya aku berfikir bahwa kehidupanku berjalan dengan lancar saja karena aku tidak pernah mengungkit atau mengingat kembali pengalamanku yang sudah dilalui pada masa lalu, tetapi setelah rekoleksi ini sudah aku jalankan sesuai dengan arahan pemberi materi dan aku sadar bahwa ternyata dulu pernah merasakan luka yang cukup pahit dan masih membekas didalam hatiku, meskipun tidak pernah terlintas dalam pemikiran aku saat itu.

Pada saat waktu kita diminta untuk menonton film tentang perdebatan seorang ibu dan anak yang pada akhirnya mereka jadi saling memahami setelah mereka bertukar jiwa, dan disitu pikiranku langsung terlintas bahwa aku juga pernah mengalami perdebatan dengan mamahku, dan ternyata dibalik perdebatan itu kita sama-sama tidak saling mengerti atau memahami tentang perasaan apa yang sedang dialami dari masing-masing kita, dan kita hanya ingin dipahami tanpa berfikir untuk memahami orang lain. “Aha Moment”ku terjadi pada saat sesi meditasi dan saat mendengarkan sharing dari beberapa temanku, jadi pada saat meditasi kita diminta untuk mengingat kembali kejadian/peristiwa perjalanan hidup yang sudah kita alami semasa lalu, awalnya aku belum bisa membuka pikiran ku untuk mengingat masa lalu yang ku alami karena adanya kegelisahan dan rasa ketidaknyamanan yang aku rasakan pada saat itu, tetapi setelah beberapa saat aku mulai menerima diriku sendiri untuk membuka ingatanku tentang perjalanan hidupku dimasa lalu. Aku tersadar bahwa luka dimasa laluku masih tersimpan dipikiran dan hatiku, dahulu diri kecilku ini ternyata sudah melalui beberapa luka dan aku terbiasa untuk menyimpan dan menyembunyikan luka itu dari orang-orang yang ada disekitarku, luka itu tumbuh dari orang-orang terdekatku dan mungkin saja mereka tidak pernah menyadari akan tindakan/perilaku yang mereka berikan pada diriku, selama sesi ini berlangsung perasaanku sangat sedih dan banyak menangis karena membayangkan seluruh pengalaman pahit yang pernah dialami dan rasanya itu sakit sekali jika mengingat kejadian itu, tetapi itu tidak masalah karena dengan begitu sebenarnya kita sedang menyembuhkan luka batin yang masih tersimpan didalam diri kita masing-masing.

Aku dapat memahami bagaimana proses kehidupan yang sudah ku lalui belasan tahun dan ternyata ada sedikit ruang kecil hatiku yang kusimpan rapi tentang bagaimana perasaan luka atau pengalaman buruk yang aku rasakan, mungkin aku tidak bisa sharing apa saja luka-luka yang pernah kurasakan tetapi aku sekarang belajar untuk menerima bagaimana wujud diriku, dan dari luka itu aku bisa terbentuk menjadi wanita yang kuat dan kebal atas cacian atau makian meskipun sebenarnya itu sangat melukai hati/batinku.

Dan dengan adanya sesi sharing pengalaman dengan sesama teman aku jadi paham bahwa bukan kita saja yang pernah merasakan hal buruk atau pengalaman yang menyedihkan karena masih banyak diluar sana yang pengalamannya lebih buruk dari apa yang sudah kita lalui, setelah diriku mendengarkan cerita dari masing-masing temanku dengan pengalaman yang sudah dijalani dalam proses kehidupan masing-masing kita, dengan begitu aku dan teman-temanku lainnya kita sama-sama support dan memberi dukungan kepada masing-masing orang supaya tidak ada lagi beban pikiran tentang masa lalu dan kita sama-sama belajar dari kesalahan yang pernah kita lakukan.

Dengan proses pembentukan diriku yang cukup keras dimasa lalu sekarang aku bisa memahami bagaimana kerasnya dunia akan diri ku nantinya jika aku tidak terlatih untuk menerima hal kepahitan karena tidak semua yang ada didunia ini tentang yang baik-baik saja, dan aku tidak membenci orang-orang yang sudah membuat diriku sakit/terluka justru aku berterimakasih kepada orang-orang yang sudah hadir dalam proses pembentukan diriku dimasa lalu, aku menghargai semua tindakan yang sudah mereka lakukan kepada diriku dari segi positif ataupun dari segi negatif. Makna utama yang bisa aku ambil dari kegiatan rekoleksi ini yaitu bahwa aku harus bisa  menerima diriku sendiri untuk mengingat semua peristiwa/kejadian yang pernah ku alami dimasa lalu dengan mengingat hal itu aku jadi mengetahui luka apa saja yang pernah kualami dan pengalaman itu dapat menjadi dasar fondasi supaya diriku terbentuk menjadi yang lebih baik dan berkembang dari yang lalu.

Setelah aku bisa menerima diriku sendiri dan masa laluku maka hati dan kehendakku tergerak untuk bisa lebih memahami atau peduli dengan sesama dan berusaha untuk bisa lebih mengerti atau peka terhadap perasaan orang lain, karena aku memiliki prinsip jika aku ingin dimengerti oleh orang lain maka diri aku sendiripun harus bisa lebih dahulu untuk memahami orang lain dan dengan begitu maka orang lain bisa lebih peduli denganku. Selain itu kehendakku lainnya aku ingin diriku lebih sering untuk bersyukur kepada Tuhan karena jika tidak ada campur tangan atau pertolongan dari Tuhan maka belum tentu aku masih ada saat ini dan belum tentu aku bisa kuat dan bertahan hingga saat ini. – Missella Amelia Silalahi (Prodi Manajame Industri)

IMG_1411

Dari Pamplona Ke Puri Loyola – Refleksi Mengenal Ignasius oleh Antonius Mikael

Aku yang Tersesat

Aku pernah merasa terpuruk. Setelah lulus SMK, aku merasakan kesepian yang ku anggap hebat. Sekolahku jauh dari rumah, pergaulanku selama SMK terbatas. Sejak kecil aku orang yang pendiam, jarang keluar rumah. Aku merasa tidak pernah ada dorongan untuk bergaul di luar. Sejak kecil, aku merasa minder dengan penampilanku. Aku merasa pemikiran itu telah membentuk karakterku yang tidak percaya dengan orang lain, setidaknya orang baru yang belum aku kenal. Aku terbiasa dengan dunia kecilku, sekedar rumah dan sekolah. Aku menyadari kalau orang didorong oleh kepentingan pribadinya. Aku tidak percaya orang mau berinteraksi tanpa imbal balik yang bisa aku tawarkan. Pemikiran yang salah kalau ku lihat lagi sekarang.

Kelulusan sekolah telah memotong dan memperkecil duniaku. Selama liburan, aku terperangkap oleh pikiranku sendiri. Aku hanya menghabiskan waktu di rumah, bergaul walau hanya sesekali. Aku terbiasa memendam emosiku, aku tidak ingin menjadi orang yang merepotkan. Aku selalu ingin menjadi orang yang rasional. Aku biasanya mengalihkan perasaanku dengan kesibukan. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan, aku hanya membuang waktuku di sosial media. Aku mengalihkan perhatianku dengan menonton dan mengkonsumsi hiburan yang tidak ada habisnya dengan pikiran yang kosong. Aku tidak merasa bahagia.

Aku selalu berpikir yang terburuk dari setiap situasi. Aku percaya bahwa kita harus mempersiapkan yang terburuk. Dengan begitu aku selalu merasa terbatas dan dibatasi. Aku merasa kosong dan tanpa tujuan. Aku tidak melakukan aktivitas yang produktif. Aku berusaha untuk memiliki motivasi dan tujuan yang aku rasa bisa dan akan tercapai. Pemikiran yang “rasional”, itulah yang aku katakan pada diri sendiri setiap kali aku memutuskan untuk tidak melakukan sesuatu. Aku termakan dari dalam oleh pikiranku sendiri.

Aku sadar bahwa orang tuaku telah berjuang untuk menghidupiku. Aku sadar bahwa mereka juga memiliki kesibukan dan masalahnya masing-masing. Bukan mereka tidak peduli, aku yakin mereka akan membantuku jika aku memintanya. Teman-temanku juga begitu. Aku percaya bahwa mereka semua adalah orang yang baik, aku sangat yakin kalau mereka juga akan membantuku. Entah apa yang membuatku enggan meminta pertolongan dari mereka. Aku menyadari kehidupanku yang harusnya dapat disyukuri. Tapi aku malah merasa kesepian. Di dalam semua itu, Aku sadar betapa egoisnya diriku memikirkan semua itu. Betapa sempitnya pikiranku untuk selalu terfokus hanya pada masalah diriku. Pernahkan aku mencoba bertanya kepada orang lain apakah mereka baik-baik saja? Aku tidak pernah peduli pada orang lain. Aku merasa tidak berguna karena tidak bisa membantu orang lain. Aku terus mempertanyakan apa yang salah pada diriku?

Aku sadar dengan semua pemikiran itu. Aku sering melihat diriku dari sudut pandang orang ke-3. Aku selalu bertanya kepada diriku sendiri mengapa, mengapa aku seperti ini? Aku merasa gagal dan tidak berguna. Banyak kesadaran akan hidup yang telah meracuni pikiranku. Realitas sosial, realitas akan mimpi, kebiasaan burukku, kesadaran akan manusia yang tidak bisa diharapkan, bahkan ekspektasiku sendiri mengenai hidup yang ideal. Aku sadar bahwa masalahku sepele dibandingkan dengan masalah orang lain dan dunia. Aku sadar, banyak teman-temanku yang tidak mempunyai pikiran sedalam diriku. Rasanya mereka bisa menjalani hidup yang ringan dan bahagia, setidaknya lebih bahagia dari diriku saat itu. Kebencianku akan diriku sendiri dan hidup ini menarikku semakin dalam, tenggelam dalam pikiran gelapku sendiri. Mimpiku terasa jauh, percaya diriku menjadi rendah, harapan dan motivasiku mati.

Aku sering mencoba mengarahkan hidupku karena harapan dan pemikiran baru yang aku dapatkan. Sering juga aku tersesat dan kembali jatuh. Seketika aku bersemangat untuk menjalani hari, tak lama kemudian niatku hancur karena hal yang sepele. Saat aku merasa dicerahkan, tak lama pikiranku kembali tenggelam dalam kesadaran hidup. Moodku tidak menentu, mudah rasanya untuk tertekan karena pemikiran negatif yang muncul tiba-tiba. Sering kali aku merasa kesepian. Dimanapun, terkadang tanpa ada pemicu yang jelas. Sekali lagi, Aku membiarkan diriku termakan oleh pikiranku sendiri.

Mudah rasanya bagi diriku yang sekarang untuk melihat segala kesalahan yang aku lakukan pada masa itu. Aku selalu mencari jawabanku di luar diri. Aku selalu mengejar hal yang di luar diriku. Aku selalu berusaha menjadi orang yang diinginkan orang lain. Aku tidak pernah memikirkan yang di dalam hatiku. Aku tidak pernah menanyakan apa keinginan hatiku, apa yang aku inginkan? Bahkan aku merasa malah menutupi keinginanku. Aku terjebak di dalam pola pikir yang salah. Dari sudut pandangku saat itu, aku merasa tersesat dalam pikiranku yang hancur dari dalam.

Pikiran, mimpi, dan idealismeku yang hancur adalah keyakinan bahwa aku adalah orang yang mampu. Aku pernah merasa kalau aku mampu melihat hidup dengan baik dan benar. Aku sebelumnya merasa bahwa aku tidak seperti orang lain, aku tidak bisa didorong oleh pemikiran yang dangkal. Aku percaya kalau kelakuanku terhitung, hasil dari pemikiranku. Nyatanya, aku telah berhasil ditenggelamkan oleh pemikiranku sendiri. Aku salah dengan mengesampingkan perasaanku. Bom waktu emosiku rasanya telah meledak, memenuhi otakku oleh emosi yang tidak pernah ku perhatikan.

Saat itu aku tidak memikirkan Tuhan. Aku percaya, aku adalah orang yang rasional. Pemikiranku mengenai Tuhan saat itu adalah kepercayaan mentah yang orang telan. Aku tidak percaya kalau Tuhan itu ada di tengah dunia yang kacau dari kacamataku ini. Aku merasa tidak melihat Tuhan dari orang yang memenuhi gereja.

Aku yang Hidup

Aku merasakan penemuan ku akan Tuhan adalah saat aku bekerja atau melakukan sesuatu. Aku merasa dituntun dan diarahkan. Aku merasa digunakan untuk membantu mewujudkan dunia yang baik, setidaknya dunia yang sama yang aku harapkan. Aku merasa berguna dan berharga. Perasaan itu yang aku rasakan ketika aku masuk ke ATMI. Aku merasakan bagaimana menjadi orang yang sibuk. Aku merasakan bagaimana aku tidak bisa diam di dalam waktu yang terus berjalan. Di sini, aku belajar untuk merawat hatiku. Untuk bertindak dengan pikiran, mengikuti kata hati. Aku juga belajar untuk menemukan diriku yang telah ku bungkam, juga diriku yang merasa berharga dan berguna.

Aku mengalami banyak pertemuan yang berharga buatku. Aku bertemu dengan orang-orang yang telah membantuku melihat kembali hidup. Aku bertemu dengan cara baru untuk berpikir, cara baru untuk memandang dunia. Dunia yang memang gila, tapi tetap dunia yang hidup. Aku belajar untuk membiarkan hatiku berbicara, membiarkan otakku bermimpi, membiarkan tanganku berkarya. Aku bisa melihat dan merasakan wajah Tuhan di setiap orang, dan ciptaan. Aku menyadari Tuhan yang peduli, Tuhan yang mendorong, Tuhan yang mengarahkan, sampai akhirnya aku bisa menyadari Tuhan yang menerima dan mencintai.

Aku memperdalam kekuranganku sebagai seorang teknik, bukan hakim. Aku menemukan diriku lagi sebagai seorang yang penasaran dan suka belajar. Aku merasa bisa melihat kembali mimpiku yang tadinya tertutup kabut. Mimpiku tidak lebih dekat, tapi bisa ku kejar dan perjuangkan. Di titik ini aku bisa melihat apa yang bisa aku lakukan untuk berkembang. Aku juga bisa melihat hal yang memang tidak bisa ku kendalikan, hal salah jika ku gantungkan sebagai patokan kebahagiaan. Banyak hal yang sebenarnya adalah hasil dari ketergantungan alam yang memang tidak bisa dikendalikan, tapi tidak kacau. Semua memiliki sebab dan alasan. Aku jadi sadar, Aku yang sampai di titik ini bukanlah keputusanku saja. Tapi Tuhan yang membiarkan dan mengarahkan diriku untuk ada di sini. Aku dicintai dan diterima kehadirannya. Aku juga merasa didorong untuk berkarya melalui mimpi dan perjuanganku di sini.

Dari refleksi ini aku bisa mensyukuri perjalananku. Entah kenapa aku bisa melihat diriku dalam perjalanan hidup yang sama dengan Inigo. Dari Pamplona, aku digiring ke puri Loyola. Dari situ aku menemukan Tuhan dan diriku, melihat perjalanan dan perjuangan baru dalam hidupku. Perjalanan yang kenyataannya memang tidak lurus, tapi bisa ku jalani dengan semangat dan suka cita. Aku belajar untuk mencintai hidup ini. Aku menyadari sikap hidup dari Inigo yang selalu kritis terhadap batinnya, dan selalu terbuka untuk mendengar suara tuntunan dan pengarahan Tuhan yang hidup didalam dirinya. Dia ambisius, berani membayangkan dan mewujudkan mimpinya. Dia menyerah kepada kehendak Tuhan yang mengarahkan dia melalui kehendak hatinya. Aku senang bisa ikut belajar dari perjalanannya. Aku berharap bisa mendengarkan dan menemukan Tuhan dari setiap hal yang aku rasakan. Aku berharap bisa membawa kebaikan pada dunia ini secara tulus dari dalam keluar. Menghidupkan dunia ini, dimulai dari diriku yang hidup dan dicinta.

Refleksi oleh Antonius Mikael – Mahasiswa Politeknik Industri ATMI

Rekoleksi-Community-Building

Sudut Pandang Baru – Refleksi Rekoleksi Antonius Mikael

Refleksi Salah Satu Mahasiswa Peserta Rekoleksi

Sudut Pandang Baru

Kemarin aku merasa senang karena dapat lebih mengenal kepribadianku. Sebelumnya, aku merasa bingung mengenai kepribadianku. Bingung mengenai perasaanku, mengapa aku bertindak demikian. Hari itu aku diperkenalkan dengan eneagram. Salah satu jenis pengelompokan kepribadian, berdasarkan kuisioner yang telah kami isi pada hari sebelumnya. Setelah menerima penjelasan dasar mengenai eneagramku, Aku diminta untuk memeriksa kecocokan penjelasan eneagramku dengan kebiasaan dan pengalaman ku. Aku sangat kaget dan terkesan dengan penjelasan ini. Bisa ku katakan hampir semuanya sesuai dengan kepribadianku.

Penjelasan eneagram ku memberikan penjabaran yang lengkap mengenai kepribadianku. Eneagram menjelaskan sifat – sifat ku, baik yang positif maupun yang negatif. Bahkan ada penjelasan mengenai motivasi dasarku dan perilaku khas dari eneagramku. Pemeriksaan eneagram memberikan kesempatan bagiku untuk merefleksikan sifat – sifatku, menyadarkanku dengan kekuatan dan kelemahanku.

Penjabaran ini yang aku rasa sebagai hal yang sulit ku dapatkan, bila tidak mengikuti rekoleksi ini.
Yang menjadi AHA momen bagi ku adalah ketika aku membaca tawaran bantuan dari penjelasan eneagram. Salah satu yang tertulis di situ adalah bahwa aku berbakat untuk mengamati, sehingga aku mampu untuk memahami orang lain. Salah satu hal yang membuat ku terpuruk adalah penarikan diri. Aku tidak tahu bagaimana orang akan merespon ku saat berinteraksi. Sebelumnya aku sudah menyadari kemampuan ku untuk menganalisa dan memahami hal. Aku tidak pernah berfikir bahwa kemampuan itu bisa ku manfaatkan untuk memahami orang lain.

Aku memaknai momen penyadaran itu sebagai ajakan untuk melihat dengan sudut pandang yang baru. Aku tahu, aku adalah orang yang penasaran dengan hal baru yang menarik. Terutama dengan ilmu pengetahuan Alam dan teknologi. Ketertarikan itu yang membuat ku masuk ke dunia teknik. Bagi ku, pemahaman manusia akan alam sangat menakjubkan. Kemampuan kita untuk memprediksi dan memanfaatkan hal di sekitar kita untuk kebaikan manusia. Dari mekanisme sederhana, sampai mesin kompleks yang membantu kita dari segala aspek kehidupan. Mengapa aku tidak melihat lebih dalam?

Sumber dari semua itu adalah otak manusia. Otak yang sama, yang ada di setiap orang. Otak yang tidak hanya bisa berfikir, tapi juga bisa merasakan. Aku mencoba melihat kembali sekitar. Aku menyadari bahwa aku kurang berusaha untuk melihat orang lain. Aku menganggap semua orang itu sama. Padahal mereka penuh dengan keunikan. Setiap orang memiliki sifat dan cerita yang berbeda -beda. Mereka memiliki ide dan sudut pandanya sendiri, yang sama pentingnya dengan ku.

Kegiatan rekoleksi juga menguatkan kesadaran ku akan hal ini. Aku diberi kesempatan untuk melihat kekuatan, ketakutan, dan harapan teman – teman ku dari sudut pandang mereka. Pada hari ke dua, aku juga diminta untuk lebih melihat sekitar ku. Dengan membersihkan lingkungan dan mendengar cerita dari kehidupan orang lain. Orang yang biasanya ku lewati sehari – hari tanpa ku sadari.

Kesadaran ini menjadi ajakan bagi ku untuk lebih berempati dengan semua orang. Untuk lebih mengenal, melihat, dan mendengar. Dengan menyadari lingkungan dan orang – orang disekitarku, aku dapat mengetahui masalah yang ada dan dimiliki orang dan lingkungan. Harapanku, aku bisa membantu memecahkan masalah itu, apalagi dengan bantuan teknologi rekayasa yang aku pelajari di ATMI.

Refleksi Oleh Antonius Mikael – Politeknik Industri ATMI CIkarang