IMG_1411

Dari Pamplona Ke Puri Loyola – Refleksi Mengenal Ignasius oleh Antonius Mikael

Aku yang Tersesat

Aku pernah merasa terpuruk. Setelah lulus SMK, aku merasakan kesepian yang ku anggap hebat. Sekolahku jauh dari rumah, pergaulanku selama SMK terbatas. Sejak kecil aku orang yang pendiam, jarang keluar rumah. Aku merasa tidak pernah ada dorongan untuk bergaul di luar. Sejak kecil, aku merasa minder dengan penampilanku. Aku merasa pemikiran itu telah membentuk karakterku yang tidak percaya dengan orang lain, setidaknya orang baru yang belum aku kenal. Aku terbiasa dengan dunia kecilku, sekedar rumah dan sekolah. Aku menyadari kalau orang didorong oleh kepentingan pribadinya. Aku tidak percaya orang mau berinteraksi tanpa imbal balik yang bisa aku tawarkan. Pemikiran yang salah kalau ku lihat lagi sekarang.

Kelulusan sekolah telah memotong dan memperkecil duniaku. Selama liburan, aku terperangkap oleh pikiranku sendiri. Aku hanya menghabiskan waktu di rumah, bergaul walau hanya sesekali. Aku terbiasa memendam emosiku, aku tidak ingin menjadi orang yang merepotkan. Aku selalu ingin menjadi orang yang rasional. Aku biasanya mengalihkan perasaanku dengan kesibukan. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan, aku hanya membuang waktuku di sosial media. Aku mengalihkan perhatianku dengan menonton dan mengkonsumsi hiburan yang tidak ada habisnya dengan pikiran yang kosong. Aku tidak merasa bahagia.

Aku selalu berpikir yang terburuk dari setiap situasi. Aku percaya bahwa kita harus mempersiapkan yang terburuk. Dengan begitu aku selalu merasa terbatas dan dibatasi. Aku merasa kosong dan tanpa tujuan. Aku tidak melakukan aktivitas yang produktif. Aku berusaha untuk memiliki motivasi dan tujuan yang aku rasa bisa dan akan tercapai. Pemikiran yang “rasional”, itulah yang aku katakan pada diri sendiri setiap kali aku memutuskan untuk tidak melakukan sesuatu. Aku termakan dari dalam oleh pikiranku sendiri.

Aku sadar bahwa orang tuaku telah berjuang untuk menghidupiku. Aku sadar bahwa mereka juga memiliki kesibukan dan masalahnya masing-masing. Bukan mereka tidak peduli, aku yakin mereka akan membantuku jika aku memintanya. Teman-temanku juga begitu. Aku percaya bahwa mereka semua adalah orang yang baik, aku sangat yakin kalau mereka juga akan membantuku. Entah apa yang membuatku enggan meminta pertolongan dari mereka. Aku menyadari kehidupanku yang harusnya dapat disyukuri. Tapi aku malah merasa kesepian. Di dalam semua itu, Aku sadar betapa egoisnya diriku memikirkan semua itu. Betapa sempitnya pikiranku untuk selalu terfokus hanya pada masalah diriku. Pernahkan aku mencoba bertanya kepada orang lain apakah mereka baik-baik saja? Aku tidak pernah peduli pada orang lain. Aku merasa tidak berguna karena tidak bisa membantu orang lain. Aku terus mempertanyakan apa yang salah pada diriku?

Aku sadar dengan semua pemikiran itu. Aku sering melihat diriku dari sudut pandang orang ke-3. Aku selalu bertanya kepada diriku sendiri mengapa, mengapa aku seperti ini? Aku merasa gagal dan tidak berguna. Banyak kesadaran akan hidup yang telah meracuni pikiranku. Realitas sosial, realitas akan mimpi, kebiasaan burukku, kesadaran akan manusia yang tidak bisa diharapkan, bahkan ekspektasiku sendiri mengenai hidup yang ideal. Aku sadar bahwa masalahku sepele dibandingkan dengan masalah orang lain dan dunia. Aku sadar, banyak teman-temanku yang tidak mempunyai pikiran sedalam diriku. Rasanya mereka bisa menjalani hidup yang ringan dan bahagia, setidaknya lebih bahagia dari diriku saat itu. Kebencianku akan diriku sendiri dan hidup ini menarikku semakin dalam, tenggelam dalam pikiran gelapku sendiri. Mimpiku terasa jauh, percaya diriku menjadi rendah, harapan dan motivasiku mati.

Aku sering mencoba mengarahkan hidupku karena harapan dan pemikiran baru yang aku dapatkan. Sering juga aku tersesat dan kembali jatuh. Seketika aku bersemangat untuk menjalani hari, tak lama kemudian niatku hancur karena hal yang sepele. Saat aku merasa dicerahkan, tak lama pikiranku kembali tenggelam dalam kesadaran hidup. Moodku tidak menentu, mudah rasanya untuk tertekan karena pemikiran negatif yang muncul tiba-tiba. Sering kali aku merasa kesepian. Dimanapun, terkadang tanpa ada pemicu yang jelas. Sekali lagi, Aku membiarkan diriku termakan oleh pikiranku sendiri.

Mudah rasanya bagi diriku yang sekarang untuk melihat segala kesalahan yang aku lakukan pada masa itu. Aku selalu mencari jawabanku di luar diri. Aku selalu mengejar hal yang di luar diriku. Aku selalu berusaha menjadi orang yang diinginkan orang lain. Aku tidak pernah memikirkan yang di dalam hatiku. Aku tidak pernah menanyakan apa keinginan hatiku, apa yang aku inginkan? Bahkan aku merasa malah menutupi keinginanku. Aku terjebak di dalam pola pikir yang salah. Dari sudut pandangku saat itu, aku merasa tersesat dalam pikiranku yang hancur dari dalam.

Pikiran, mimpi, dan idealismeku yang hancur adalah keyakinan bahwa aku adalah orang yang mampu. Aku pernah merasa kalau aku mampu melihat hidup dengan baik dan benar. Aku sebelumnya merasa bahwa aku tidak seperti orang lain, aku tidak bisa didorong oleh pemikiran yang dangkal. Aku percaya kalau kelakuanku terhitung, hasil dari pemikiranku. Nyatanya, aku telah berhasil ditenggelamkan oleh pemikiranku sendiri. Aku salah dengan mengesampingkan perasaanku. Bom waktu emosiku rasanya telah meledak, memenuhi otakku oleh emosi yang tidak pernah ku perhatikan.

Saat itu aku tidak memikirkan Tuhan. Aku percaya, aku adalah orang yang rasional. Pemikiranku mengenai Tuhan saat itu adalah kepercayaan mentah yang orang telan. Aku tidak percaya kalau Tuhan itu ada di tengah dunia yang kacau dari kacamataku ini. Aku merasa tidak melihat Tuhan dari orang yang memenuhi gereja.

Aku yang Hidup

Aku merasakan penemuan ku akan Tuhan adalah saat aku bekerja atau melakukan sesuatu. Aku merasa dituntun dan diarahkan. Aku merasa digunakan untuk membantu mewujudkan dunia yang baik, setidaknya dunia yang sama yang aku harapkan. Aku merasa berguna dan berharga. Perasaan itu yang aku rasakan ketika aku masuk ke ATMI. Aku merasakan bagaimana menjadi orang yang sibuk. Aku merasakan bagaimana aku tidak bisa diam di dalam waktu yang terus berjalan. Di sini, aku belajar untuk merawat hatiku. Untuk bertindak dengan pikiran, mengikuti kata hati. Aku juga belajar untuk menemukan diriku yang telah ku bungkam, juga diriku yang merasa berharga dan berguna.

Aku mengalami banyak pertemuan yang berharga buatku. Aku bertemu dengan orang-orang yang telah membantuku melihat kembali hidup. Aku bertemu dengan cara baru untuk berpikir, cara baru untuk memandang dunia. Dunia yang memang gila, tapi tetap dunia yang hidup. Aku belajar untuk membiarkan hatiku berbicara, membiarkan otakku bermimpi, membiarkan tanganku berkarya. Aku bisa melihat dan merasakan wajah Tuhan di setiap orang, dan ciptaan. Aku menyadari Tuhan yang peduli, Tuhan yang mendorong, Tuhan yang mengarahkan, sampai akhirnya aku bisa menyadari Tuhan yang menerima dan mencintai.

Aku memperdalam kekuranganku sebagai seorang teknik, bukan hakim. Aku menemukan diriku lagi sebagai seorang yang penasaran dan suka belajar. Aku merasa bisa melihat kembali mimpiku yang tadinya tertutup kabut. Mimpiku tidak lebih dekat, tapi bisa ku kejar dan perjuangkan. Di titik ini aku bisa melihat apa yang bisa aku lakukan untuk berkembang. Aku juga bisa melihat hal yang memang tidak bisa ku kendalikan, hal salah jika ku gantungkan sebagai patokan kebahagiaan. Banyak hal yang sebenarnya adalah hasil dari ketergantungan alam yang memang tidak bisa dikendalikan, tapi tidak kacau. Semua memiliki sebab dan alasan. Aku jadi sadar, Aku yang sampai di titik ini bukanlah keputusanku saja. Tapi Tuhan yang membiarkan dan mengarahkan diriku untuk ada di sini. Aku dicintai dan diterima kehadirannya. Aku juga merasa didorong untuk berkarya melalui mimpi dan perjuanganku di sini.

Dari refleksi ini aku bisa mensyukuri perjalananku. Entah kenapa aku bisa melihat diriku dalam perjalanan hidup yang sama dengan Inigo. Dari Pamplona, aku digiring ke puri Loyola. Dari situ aku menemukan Tuhan dan diriku, melihat perjalanan dan perjuangan baru dalam hidupku. Perjalanan yang kenyataannya memang tidak lurus, tapi bisa ku jalani dengan semangat dan suka cita. Aku belajar untuk mencintai hidup ini. Aku menyadari sikap hidup dari Inigo yang selalu kritis terhadap batinnya, dan selalu terbuka untuk mendengar suara tuntunan dan pengarahan Tuhan yang hidup didalam dirinya. Dia ambisius, berani membayangkan dan mewujudkan mimpinya. Dia menyerah kepada kehendak Tuhan yang mengarahkan dia melalui kehendak hatinya. Aku senang bisa ikut belajar dari perjalanannya. Aku berharap bisa mendengarkan dan menemukan Tuhan dari setiap hal yang aku rasakan. Aku berharap bisa membawa kebaikan pada dunia ini secara tulus dari dalam keluar. Menghidupkan dunia ini, dimulai dari diriku yang hidup dan dicinta.

Refleksi oleh Antonius Mikael – Mahasiswa Politeknik Industri ATMI

Comments are closed.