Dalam perjalanan hidup, memilih adalah bagian tak terpisahkan dari keseharian. Sejak kecil, kita sudah diajarkan memilih, sekadar memilih satu chiki saat uang jajan terbatas. Tapi kini, di usia dewasa, aku merasakan bahwa pilihan-pilihan itu jauh lebih berat, dan konsekuensinya jauh lebih dalam. Ada tanggung jawab, ada dampak nyata yang kadang membentuk masa depan.
Pertemuan kali ini tentang discernment membuatku tersadar: di balik setiap pilihan, ada dinamika batin yang tidak selalu kusadari. Ada bisikan yang mendorongku mendekat pada Allah, dan ada pula bisikan yang menarikku menjauh dari-Nya.
Sejujurnya, aku malas sekali mengikuti pertemuan ini. Hari Sabtu — waktu istirahatku yang berharga — harus kuisi dengan duduk dari pagi sampai siang, mendengarkan materi, mengerjakan refleksi, dan berbagi dalam sharing kelompok. Aku ingin sekali tetap bergelung di kasur, menikmati kemalasan yang sederhana. Bahkan rasanya capek hanya membayangkannya.
Namun, karena terus-menerus diingatkan — melalui tag di grup, hingga panggilan telepon pagi-pagi — akhirnya aku ikut juga. Di sini aku mulai melihat: ada pertarungan kecil dalam batinku. Di satu sisi, godaan kenyamanan memanggilku, di sisi lain, ada ajakan untuk memberi diriku, untuk bertumbuh. Aku hampir saja dikalahkan oleh bisikan kenyamanan, tapi akhirnya aku memilih untuk hadir. Kini, aku melihat bahwa pengalaman kecil ini sudah mengajarkanku banyak hal tentang dinamika Roh Baik dan Roh Jahat.
Materi yang kami terima dari kakak-kakak Magis Jakarta membuka mataku lebih lebar. Kami belajar tentang pembedaan roh, tentang modus operandi batinku: bagaimana roh baik dan roh jahat bekerja dalam setiap keputusan-keputusanku. Ada cara-cara praktis yang diajarkan, seperti membuat tabel pro dan kontra dari setiap pilihan, memperhitungkan kemungkinan, dan tetap membawa semua itu dalam refleksi mendalam, bukan hanya hitung-hitungan pro-kontra.
Aku sangat tersentuh saat menyadari betapa canggihnya cara Roh Jahat bekerja — seringkali membungkus godaan dalam keinginan untuk “nyaman” dan “santai”. Dan betapa Roh Baik seringkali mengajak, bahkan dengan lemah lembut, untuk keluar dari zona nyaman, meski rasanya berat di awal.
Dalam sharing kelompok, banyak teman mengungkapkan betapa sulitnya mengingat pengalaman di mana Roh Baik menang. Aku pun merasakan hal yang sama. Ternyata, kepekaan membaca gerak roh dalam hidup bukanlah hal instan. Ini adalah latihan panjang, penuh kejujuran dan kesabaran.
Kemudian, aku teringat pengalaman yang jauh lebih berat, yang membuatku bergumul lebih dalam. Beberapa waktu lalu, aku mendapat tawaran sebuah tanggung jawab besar. Awalnya aku mengira hanya akan membahas tugas-tugasku yang biasa, namun ternyata, aku dipanggil untuk sesuatu yang jauh lebih besar. Saat tawaran itu datang, hatiku langsung bergolak: “Kenapa aku?” Aku merasa tidak layak, tidak mampu.
Aku berusaha menolak, tapi tawaran itu tetap datang, dengan harapan besar yang disematkan padaku. Aku tetap menolak, karena aku sungguh merasa tidak siap. Di balik penolakanku, ada rasa bersalah yang mendalam — rasa mengecewakan orang yang telah mempercayaiku. Aku tidak bisa berbohong kepada diriku sendiri: aku tidak yakin bisa mengemban tanggung jawab itu dengan baik.
Berhari-hari aku bergumul. Kepalaku terasa penuh. Aku pusing, sulit fokus, bahkan orang lain bisa melihat kecemasan itu di wajahku. Aku mendengar begitu banyak suara di sekelilingku:
“Ambil saja, kesempatan tidak datang dua kali,”
“Coba saja dulu, gagal pun tidak apa-apa,”
“Setidaknya, kau tidak akan menyesal karena tidak mencoba.”
Tapi juga ada suara lain:
“Kenali batasanmu,”
“Jangan iya-iya saja kalau memang tidak siap.”
Dalam kebingunganku, aku sadar aku tidak tahu dari mana semua suara itu datang. Aku belum bisa membedakan sepenuhnya: mana bisikan Roh Baik yang mendorongku bertumbuh dengan penuh kasih, mana bisikan Roh Jahat yang mungkin memaksaku melangkah dalam ketakutan.
Aku sempat bertanya-tanya: apakah aku menolak karena takut — sebuah jebakan Roh Jahat? Ataukah karena aku jujur mengenali keterbatasanku — sebuah gerakan Roh Baik? Aku belum tahu jawabannya. Mungkin aku menulis refleksi ini juga dalam usaha memahami diriku sendiri, dalam usaha perlahan-lahan membedakan gerak batin itu.
Satu hal yang kutemukan: rasa sesak dan stres yang membebaniku mulai reda ketika aku mulai bercerita — kepada teman, kepada mama. Aku belajar bahwa bercerita bukanlah tanda kelemahan, melainkan jalan untuk membiarkan terang Tuhan masuk ke dalam kerapuhan hatiku.
Hari ini aku belajar bahwa discernment bukan tentang mendapatkan jawaban cepat atau solusi yang nyaman. Ini adalah perjalanan panjang untuk mengenali, menyaring, dan menanggapi suara-suara batin dengan kejujuran dan kerendahan hati.
Aku belum tahu apakah pilihanku waktu itu benar atau salah. Tapi aku tahu, Tuhan tetap menyertaiku — di dalam ketakutan, di dalam pilihan yang kuambil, di dalam setiap langkah pencarian ini.
Tuhan, ajarilah aku untuk mendengarkan suara-Mu dalam segala kegaduhan batinku. Ajarilah aku untuk setia mencari-Mu, bahkan ketika aku belum menemukan jawabannya.



