“Bagaimana rasanya didengarkan?”
Pertanyaan sederhana itu ternyata menyentuh banyak hal dalam diri saya. Banyak orang ingin didengarkan, namun tak banyak yang benar-benar mau mendengarkan orang lain dengan sepenuh hati.
Melalui pelatihan Training for Trainer (TFT) Animator yang saya ikuti bulan Agustus lalu, saya belajar bahwa memahami perasaan orang lain bukanlah hal mudah. Apa yang menurut kita baik, belum tentu dirasakan sama oleh orang lain. Bahkan, ketika seseorang sedang bercerita atau curhat, respons yang kita anggap menenangkan bisa saja justru membuatnya bingung, merasa dihakimi, atau semakin terbebani tanpa kita sadari. Alih-alih menemukan solusi, ia malah menutup diri.
Saya tidak pernah benar-benar berpikir untuk belajar menjadi pendengar yang baik. Namun, satu hari penuh dalam pelatihan ini membuka mata saya — betapa pentingnya hadir bagi orang lain dengan tulus, mendengarkan tanpa menghakimi, dan memberi ruang bagi mereka untuk memproses perasaannya sendiri.
Sebelum mengikuti TFT, saya merasa cukup hanya dengan “hadir” di sisi seseorang. Saya pikir, keberadaan saya saja sudah berarti. Tapi ketika tahu bahwa saya akan menjadi Promoter dan Fasilitator, saya sadar bahwa pengalaman saja tidak cukup. Ada dorongan untuk terbuka dan mengolah diri agar bisa mendampingi orang lain dengan lebih baik.
Awalnya, saya mengira materi yang disampaikan akan sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya — tentang Spiritualitas Ignasian. Namun, kali ini saya menangkap pesan yang lebih dalam: spiritualitas bukan sekadar soal mengenal Tuhan, tetapi juga tentang mengenal diri sendiri dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Dalam TFT Animator, saya belajar bahwa seorang animator bukan hanya fasilitator, tetapi juga pendamping, asisten, dan sahabat rohani. Ia perlu memahami perasaan, pikiran, dan dinamika batin orang lain.
Pelatihan ini terdiri dari tiga sesi utama:
- Mendalami panggilan untuk mencintai melalui kisah Ignasian,
- Introduksi Animator dan percakapan rohani, dan
- Latihan Wawan Hati dalam kelompok kecil.
Di sesi latihan Wawan Hati, saya mendapat kesempatan menjadi “Pendengar” dan “Didengar”. Pengalaman itu membuka kesadaran baru: menjadi pendengar berarti hadir sepenuhnya — bukan hanya mendengar kata-kata, tetapi juga memahami rasa yang tersembunyi di baliknya. Ketika saya menjadi pihak yang didengarkan, saya ingin lawan bicara benar-benar hadir, tidak menghakimi, dan mendengarkan dengan hati. Sebaliknya, saat menjadi pendengar, saya belajar bahwa keterbukaan dari orang lain tidak muncul begitu saja; ia tumbuh dari respons yang tulus, empati, dan penerimaan.
Ada satu “aha moment” yang tak terlupakan: perasaan lega dan hangat ketika saya mampu membantu seseorang melihat kembali luka-lukanya dan berdamai dengan dirinya. Dari situ, saya menyadari bahwa menjadi pendamping bukan tentang memberi solusi, melainkan tentang menemani proses seseorang menemukan kedamaian batinnya.
Saya masih terus belajar. Namun, dari pelatihan ini saya membawa satu harapan kecil — semoga saya bisa menjadi Animator yang hadir dengan hati, yang mau mendengarkan, menemani, dan membantu orang lain membuka diri untuk sembuh dan bertumbuh.
Litani Marianju
Manajemen Industri/Tk2

